JAKARTA, KOMPAS.com - Popularitas anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dinilai dapat kalah dari penyanyi Didi Kempot bila sama-sama mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo.
Pandangan itu disampaikan pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio. Menurut dia, Gibran bisa menang atau kalah dalam Pilwakot Solo.
Kekalahan itu bisa terjadi bila Gibran melawan tokoh populer di Solo.
Di sisi lain, sikap Jokowi yang menolak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( perppu) tentang UU KPK menjadi antiklimaks atas sikapnya selama ini.
Jokowi sebelumnya sempat memberikan angin segar bagi sejumlah elemen masyarakat, mahasiswa hingga tokoh masyarakat untuk menerbitkan perppu tersebut.
Belakangan, Jokowi merevisi sikapnya dengan berdalih menunggu proses yang sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi.
Berikut lima berita populer di tingkat nasional:
1. Gibran Dinilai Kalah Populer Dibandingkan Didi Kempot
Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, Gibran Rakabuming Raka memiliki peluang menang jika mencalonkan diri di Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Solo 2020.
Sebaliknya, putra Presiden Joko Widodo itu pun diprediksi bisa kalah jika melawan tokoh populer lain di Solo, seperti Didi Kempot.
"Kemudian pertanyaannya, apakah dia bisa menang? Bisa. Sebaliknya, apakah dia bisa kalah? Tentu bisa," ucap Hendri di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Sebagai warga negara, ia mengatakan, Gibran berhak mengajukan diri sebagai bakal calon wali kota Solo. Terlebih, posisinya sebagai anak Presiden, membuat Gibran mendapatkan nilai spesial di masyarakat.
Akan tetapi, status spesial itu bisa menjadi antitesis masyarakat yang kecewa dengan kecenderungan politik dinasti keluarga Jokowi.
Sebab, meski baru berniat mengajukan diri, langkah itu dapat menimbulkan sentimen politik dinasti.
"Bisa jadi kekecewaan orang Solo terhadap adanya politik dinasi ini lalu diarahkannya ke tokoh lain, misalnya nanti Didi Kempot. Orang kan berpikir 'Ketimbang saya malas (memilih), ya sudah saya pilih Didi Kempot saja sekalian', kan bisa jadi begitu," ucapnya.
Baca juga: Gibran Dinilai Kalah Populer Dibandingkan Didi Kempot, Sulit Menang di Pilkada Solo
2. Poros Gondangdia dan Teuku Umar, Dua Kekuatan Politik yang Diprediksi Menguat
Pengamat politik dari lembaga survei Indo Barometer, Muhammad Qodari mengatakan, perkembangan situasi politik saat ini menunjukkan kecenderungan menguatnya "Poros Gondangdia" dan "Poros Teuku Umar".
Poros Gondangdia mengacu pada lokasi kantor DPP Partai Nasdem di Jalan Gondangdia. Sedangkan Poros Teuku Umar mengacu pada kediaman Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar.
Qodari menuturkan, peta politik 2019-2024 semakin terlihat dalam beberapa waktu terakhir ini. Gambaran ini muncul saat Ketua Umum PDI-P bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Jalan Teuku Umar.
"Kalau kita saksikan perkembangan politik terakhir sebetulnya satu hal yang menarik, di mana Bu Mega merangkul Pak Prabowo," ujar Qodari dalam diskusi "Memaknai Pelukan Politik PKS dan Partai Nasdem" di Jakarta, Sabtu (2/11/2019).
Beberapa lama setelah pertemuan Megawati dengan Prabowo, Partai Nasdem kemudian melakukan manuver politik. Salah satunya adalah mendekati Partai Keadilan Sejahtera, dan rencana bertemu Partai Amanat Nasional.
Baca juga: Poros Gondangdia dan Teuku Umar, Dua Kekuatan Politik yang Diprediksi Menguat
3. Antiklimaks Perppu KPK
Presiden Joko Widodo memastikan tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.
Sikap Kepala Negara ini menjadi antiklimaks setelah sebelumnya sempat berjanji menerbitkan perppu tersebut.
Janji itu disampaikan Jokowi usai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Ery Riana Hadjapamekas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini menjadi Menko Polhukam Mahfud MD, pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti.
Dalam pertemuan yang berlangsung dua jam tersebut, Jokowi mengaku mendapat masukan untuk menerbitkan Perppu KPK untuk menjawab tuntutan mahasiswa.
"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa perppu," kata Jokowi, saat itu.
"Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," imbuhnya.
Namun, Jokowi berubah pikiran.
Ia beralasan, menghormati proses uji materi terhadap UU yang dinilai sarat upaya pelemahan terhadap komisi antirasuah itu, yang kini sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi.
"Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan," kata dia saat berbincang dengan awak media di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Baca juga: Antiklimaks Perppu KPK
4. Politisi PDI-P: Sikap Presiden Jokowi Tepat Tak Terbitkan Perppu KPK
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu menilai Presiden Joko Widodo telah mengambil langkah yang tepat dengan tidak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
"Sikap Presiden sudah tepat dengan tidak menerbitkan Perpu terhadap UU No. 30 Tahun 2002 yang telah direvisi menjadi UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujar Masinton kepada Kompas.com, Sabtu (2/11/2019).
Masinton mengapresiasi sikap Presiden Jokowi yang menghormati sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan yang berlaku.
Presiden Jokowi beralasan, saat ini sejumlah pihak masih mengajukan permohan uji materi UU KPK hasil revisi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Masinton mengatakan, semua pihak harus menghormati proses konstitusional yang sedang berlangsung di MK.
"Biarkan hakim-hakim konstitusi di MK berkhidmat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya memproses dan memutus gugatan atau uji materi yang dilakukan warga negara terhadap revisi UU KPK, tanpa ada tekanan dari pihak manapun, termasuk oleh KPK yang bertugas menjalankan Undang-undang," kata Masinton.
Baca juga: Politisi PDI-P: Sikap Presiden Jokowi Tepat Tak Terbitkan Perppu KPK
5. Pupusnya Harapan Publik Terhadap Presiden Jokowi soal Perppu KPK
Harapan elemen masyarakat sipil agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) akhirnya pupus.
Presiden jokowi telah memastikan tidak akan menerbitkan perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Masyarakat menolak UU KPK hasil revisi karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan publik dan unsur pimpinan KPK.
Sejumlah substansi undang-undang dinilai mengandung pasal yang dapat melemahkan kerja KPK.
Misalnya, status KPK sebagai lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dinilai dapat mengganggu independensi.
Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.
Kendati demikian, Presiden Jokowi memastikan tidak akan menerbitkan perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi. Presiden beralasan ingin menghormati proses uji materi UU KPK yang tengah berjalan di Mahkamah Konsitusi.
"Kita melihat, masih ada proses uji materi di MK. Kita harus hargai proses seperti itu," kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Baca juga: Pupusnya Harapan Publik Terhadap Presiden Jokowi soal Perppu KPK…
"kalah" - Google Berita
November 03, 2019 at 08:20AM
https://ift.tt/2Ncji54
[POPULER NASIONAL] Potensi Gibran Kalah hingga Antiklimaks Perppu KPK - Kompas.com - Nasional Kompas.com
"kalah" - Google Berita
https://ift.tt/2HDpIXQ
Bagikan Berita Ini
0 Response to "[POPULER NASIONAL] Potensi Gibran Kalah hingga Antiklimaks Perppu KPK - Kompas.com - Nasional Kompas.com"
Post a Comment