Search

Menang Saat Perundingan, Kalah di Kandang Sendiri - kompas.id

KOMPAS/Lasti Kurnia

Gula kristal putih dijual di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Jumat (31/1/2020). Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) mengeluhkan berkurangnya stok gula mentah untuk kebutuhan industri, Gapmmi mendorong pemerintah untuk mengimpor gula mentah, untuk memenuhi kebutuhan pasar selama Ramadhan-Lebaran.

Kesuksesan Indonesia melobi India untuk menurunkan be masuk minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunan, justru membuka pasar gula India di Indonesia. Regulasi standar gula pun diubah. Parameter nilai kemurnian gula International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) untuk gula kristal mentah, diubah dari minimal 1.200 IU menjadi minimal 600 IU. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 14 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Gula.

“Saya khawatir  gula mentah dengan ICUMSA minimal 600 IU dapat menjadi bahan baku gula yang sekaligus merembes ke pasar gula konsumsi. Ini juga berpotensi memukul mata rantai pergulaan nasional yang berbasis tebu petani. Harga gula dari proses rafinasi lebih murah 19,6 persen dibandingkan gula kristal putih dari tebu petani,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Budi Hidayat, pekan lalu.

Sementara, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengemukakan, nilai ICUMSA yang tinggi pada regulasi sebelumnya merupakan upaya proteksi terhadap pergulaan dalam negeri. ”Kalau batas ICUMSA gula mentah yang diimpor makin kecil, risiko gula itu merembes ke pasar konsumsi makin besar,” ujarnya.

Kalau batas ICUMSA gula mentah yang diimpor makin kecil, risiko gula itu merembes ke pasar konsumsi makin besar.

Selain mengubah ICUMSA, Permendag No 14/2020 itu juga memperbolehkan importir swasta, selain badan usaha milik negara (BUMN), mengimpor gula kristal putih untuk menstabilkan harga di tingkat konsumen. Padahal, peraturan sebelumnya membatasi pelaksana impor gula untuk stabilisasi harga hanya BUMN. Kelonggaran itu, menurut Bayu, merupakan alarm bagi pergulaan nasional.

Ketergantungan impor

Di tengah-tengah berkurangnya perlindungan di dalam negeri, industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku/penolong dari negara lain. Kebergantungan ini sangat terlihat ketika dampak virus korona baru (Covid-19) merambat ke sektor industri dan perdagangan Indonesia. Sejumlah industri nasional berbasis bahan baku/impor kesulitan mendapatkan bahan. Beberapa di antaranya juga mengalami keterlambatan pengiriman.

Baca juga : Ketahanan Ekonomi Diuji

Kompas/Bahana Patria Gupta

Pembeli memilih salak di sentra penjualan buah Pasar Pucang Anom, Surabaya, Jawa Timur, Senin (3/2/2020). Ketiadaan pasokan pasca merebaknya wabah virus korana baru (Covid-19) di China yang merupakan negara importir membuat harga buah impor menjadi naik. Harga anggur naik dari Rp 60.000 menjadi Rp 120.000 perkilogram, Jeruk Ponkam naik dari Rp 25.000 menjadi Rp 35.000. Naiknya harga buah impor membuat banyak pembeli beralih ke buah lokal.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan, wabah Covid-19 menybabkan penundaan pengiriman beberapa bahan baku impor dari China yang sudah masuk komitmen kontrak. “Beberapa pelaku industri kemungkinan akan mengeluarkan biaya overtime (upah lembur) untuk mengejar produksi agar mampu menggarap pasar saat Lebaran maupun kontrak ekspor,” ujarnya.

Sementara, Kepala Badan Pengusahaan Batam Muhammad Rudi, Senin (2/3/2020), memperkirakan, dampak ekonomi akibat merebaknya Covid-19 akan terasa di Batam setidaknya hingga enam bulan ke depan. “Bahan baku (industri) sebentar lagi akan habis dan hotel mulai banyak yang kosong,” ujarnya.

Saat ini, pasokan bahan baku dari Singapura dan China yang terganggu juga mengancam kelangsungan produksi pabrik di Batam. Akibatnya, ratusan pabrik di 24 kawasan industri seluruh Batam berpotensi merumahkan puluhan ribu karyawan.

“Pasokan bahan baku terbanyak memang berasal dari Singapura. Namun, jika industri di China terganggu pasti Singapura akan terdampak juga. Akibatnya, Batam pasti ikut merasakan juga,” kata Wakil Ketua Himpunan Kawasan Industri Kota Batam, Tjaw Hioeng.

Baca juga : Terdampak Virus Korona, Perekonomian Batam Mulai Lesu

Sudah Berlangganan? Silakan Masuk

Beli Satu, Cukup untuk Semua!

Telah hadir, Kompas Digital Premium (KDP) EKSTRA! Dengan berlangganan, Anda dapat menikmati konten Kompas.id bersama-sama (hingga 10 e-mail)

Kondisi ini juga dapat menyebabkan ekspor turun sehingga berpengaruh terhadap kinerja neraca perdagangan. BPS mencatat, pada 2019 neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar 3,2 miliar dollar AS. Pada Januari 2020, neraca perdagangan itu juga masih defisit sebesar 864 juta dollar AS.

Struktur industri rapuh

Kesulitan yang dialami sebagian besar pabrik di Batam itu membuktikan industri manufaktur lokal sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari luar negeri. Menurut Tjaw, belajar dari hal itu, pemerintah harus mulai membangun pabrik bahan baku agar industri dalam negeri dapat bertahan jika ke depan terjadi wabah baru lagi.

Pemerintah harus mulai membangun pabrik bahan baku agar industri dalam negeri dapat bertahan jika ke depan terjadi wabah baru lagi.

Ketergantungan yang tinggi industri manufaktur Indonesia terhadap bahan baku impor, termasuk  dari China, mengindikasikan masih lemahnya struktur industri nasional. Kementerian Perindustrian mencatat sekitar 30 impor bahan baku industri manufaktur Indonesia berasal dari China.

Di sisi lain, industri subtitusi impor dan pasar domestik kurang disiapkan secara matang. Oleh karena itu, ketika rantai pasok global terhambat, industri domestik menjadi tak berkutik.

Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia I Gusti Putu Wira Kusuma di Bandung, Jawa Barat, Sabtu, mengatakan, di tengah dampak wabah Covid-19, permintaan komoditas ekspor nonmigas ke China memang sudah pasti turun. Produktivitas industri dalam negeri dan kinerja ekspor juga terganggu. Hal ini dapat berpengaruh signifikan pada defisit neraca perdagangan.

”Kebijakan mendorong substitusi impor dari industri dalam negeri bisa menjadi salah satu solusi,” ujarnya.

Baca juga : Kejutan Awal Tahun Perdagangan

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengemukakan, pilihan mengimpor bahan baku dari China berkaitan dengan kondisi keuangan atau profitabilitas industri manufaktur.

Di tengah tingginya biaya energi, logistik, dan biaya terkait lainnya, pelaku industri tentu berupaya menekan semua komponen biaya itu untuk produksi. “Untuk itu, perbaikan struktur biaya produksi agar lebih efisien  dibutuhkan untuk membuat industri manufaktur bisa lebih berdaya saing,” kata dia.

Proteksi perdagangan, ketergantungan impor, dan dampak wabah Covid-19 menunjukkan masih rapuhnya kebijakan dan struktur perdagangan dan industri nasional. Hal ini perlu menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan, struktur ekspor dan impor, serta turut memberikan perlindungan produsen dalam negeri.

Let's block ads! (Why?)



"kalah" - Google Berita
March 03, 2020 at 07:05AM
https://ift.tt/39drWc9

Menang Saat Perundingan, Kalah di Kandang Sendiri - kompas.id
"kalah" - Google Berita
https://ift.tt/2HDpIXQ

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Menang Saat Perundingan, Kalah di Kandang Sendiri - kompas.id"

Post a Comment

Powered by Blogger.